Kurs Rupiah Sempat Sentuh 16.150! Surplus APBN dan Stimulus Dorong Optimisme, USD/IDR Tumbang
- Rupiah menguat didukung laporan surplus dalam APBN, serta rencana peluncuran enam stimulus mulai 5 Juni.
- Pelemahan Dolar AS dipicu sentimen negatif terhadap fiskal dan ancaman tarif baru dari Presiden Trump.
- Pasar menunggu rilis data PCE, Risalah FOMC, dan pesanan barang tahan lama AS pekan ini.
Pada perdagangan hari Senin ini, menjelang sesi Eropa, para pembeli Rupiah Indonesia (IDR) tampak berusaha menyeret mata uang ini kembali ke 16.150 per Dolar AS (USD). Rupiah sempat menyentuh level terkuatnya di 16.148 dalam perdagangan harian di sesi Asia, namun harga memantul kembali ke 16.220 sejauh ini. Spot USD/IDR sempat menguat ke kisaran 16.289-16.300 karena aksi beli korporasi dan jatuh tempo DNDF sebesar $373 juta, seperti yang disebutkan dalam analisis pasar Bank Danamon.
APBN Cetak Surplus, Stimulus Konsumsi Siap Diluncurkan, Hubungan Bilateral Indonesia-Tiongkok Dukung Rupiah
Rupiah mendapatkan dorongan karena kondisi ekonomi domestik yang optimis. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, telah menjabarkan APBN Edisi Mei 2025, yang menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hingga 30 April 2025 mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun, 0,02% dari PDB – membalikkan defisit yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Perbaikan ini didorong oleh adanya percepatan realisasi pendapatan negara yang melampaui kecepatan belanja negara.
“Sampai dengan bulan April kita posisinya surplus 4,3 triliun, 0,02% dari GDP,” jelas Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN, pada hari Jumat lalu.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga berencana untuk memberikan stimulus guna menjaga pertumbuhan ekonomi nasional tetap di kisaran 5% dengan mendongkrak daya beli masyarakat. Ada enam paket stimulus yang akan diberikan mulai 5 Juni 2025.
Stimulus tersebut meliputi diskon untuk transportasi umum seperti kereta api, pesawat, dan kapal laut, serta potongan tarif tol. Selain itu, diberikan diskon 50% tarif listrik dengan daya di bawah 1300 VA. Pemerintah juga menambah alokasi bantuan sosial. Stimulus lainnya adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta dan guru honorer, serta perpanjangan diskon iuran JKK untuk sektor padat karya.
Di sisi eksternal, pemerintah Indonesia baru-baru ini telah memperkuat hubungan bilateral dengan Tiongkok dengan menandatangani 12 nota kesepahaman (MoU) strategis yang mencakup mencakup sektor-sektor penting dari ekonomi, industri, hingga kesehatan. Kedua negara tersebut juga berupaya ketahanan ekonomi kawasan dengan menyepakati perluasan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi bilateral.
Ketidakpastian Fiskal Masih Membayangi Dolar AS
Sekarang, mari kita lihat dari sisi Dolar AS. Indeks Dolar AS (DXY) yang mengukur kinerja USD terhadap enam mata uang utama lainnya, pada saat berita ini ditulis, tengah bergerak lebih rendah di sekitar level 98,79 – terendah baru dalam satu bulan. Pada perdagangan pekan lalu, indeks ini mencatatkan pelemahan sebesar 1,85%, anjlok dari tertinggi 100,90 ke terendah 99,04.
Greenback ditutup melemah pada hari Jumat setelah Presiden AS Donald Trump, mengancam akan mengenakan tarif 50% pada barang-barang Uni Eropa mulai 1 Juni karena diskusi perdagangan yang alot dengan Uni Eropa. “Diskusi kita dengan mereka tidak menghasilkan apa-apa! Oleh karena itu, saya merekomendasikan Tarif langsung 50% pada Uni Eropa, mulai 1 Juni 2025. Tidak ada Tarif jika produk tersebut dibuat atau diproduksi di Amerika Serikat.” seru Trump di TruthSocial. Namun, pada hari Minggu, Trump menyetujui permintaan Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, untuk memperpanjang tenggat waktu tarif terhadap Uni Eropa (UE) hingga 9 Juli.
Trump juga menyatakan bahwa tarif 25% bisa dikenakan pada seluruh iPhone yang dibeli oleh konsumen di AS. “Saya berharap iPhone mereka yang akan dijual di Amerika Serikat diproduksi dan dibuat di Amerika Serikat, bukan India, atau tempat lain. Jika tidak demikian, Apple harus membayar Bea Masuk minimal 25% kepada AS.” Pernyataan tersebut disampaikan pada hari Jumat di platform yang sama dan langsung memicu kekhawatiran baru di pasar.
Selain itu kekhawatiran terhadap fiskal AS juga telah membuat Dolar AS terjerembab semakin dalam. DPR yang sebagian besar terdiri dari anggota Partai Republik menyetujui rancangan undang-undang pajak dan belanja Presiden AS Donald Trump dan menyerahkannya ke Senat AS, sehingga masalah fiskal kembali menjadi momok di pasar. Senat diharapkan akan memulai pembahasan RUU belanja setelah libur Memorial Day pada tanggal 26 Mei dan memberikan suara sebelum tanggal 4 Juli.
Menurut Eren Sengezer, Analis Utama Sesi Eropa FXStreet, “Jika pasar tetap yakin bahwa Senat akan menyetujui RUU tersebut tanpa perubahan signifikan, USD akan mengalami kesulitan untuk pulih secara stabil.”
Tim Riset Danske Bank menilai pada pekan lalu bahwa pasar saat ini semakin memperkuat aksi jual terhadap Dolar AS, dipicu oleh laporan diskusi valuta asing dalam pertemuan G7 yang memunculkan spekulasi bahwa pemerintah AS tengah mendorong pelemahan Dolar secara aktif.
Tim Riset tersebut juga mencatat bahwa dampak kebijakan moneter terhadap pasar valas saat ini relatif terbatas, “Kami melihat dampak Valas terbatas dari penetapan harga ulang kebijakan tambahan pada tahap ini, dengan pergerakan harga lebih cenderung didorong oleh berita utama terkait tarif dan kebijakan Valas, dinamika pasar Treasury, dan data AS yang masuk.”
Di sisi lain, komentar terbaru dari pejabat The Fed dinilai cukup netral, dengan mayoritas anggota menilai posisi kebijakan saat ini sudah tepat, sementara sikap “tunggu dan lihat” dari Ketua The Fed, Jerome Powell, diterima pasar tanpa banyak reaksi. Menurut CME FedWatch Tool, pasar saat ini memprakirakan sekitar 22,2% kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) pada bulan Juli.
Risalah Rapat FOMC dan Data Inflasi PCE AS akan Menjadi Fokus Utama Pekan Ini
Fokus pasar pekan ini akan tertuju pada tiga agenda utama dari Amerika Serikat: data Pesanan Barang Tahan Lama yang dirilis Selasa, Risalah Rapat FOMC pada Rabu, serta data inflasi PCE – indikator yang menjadi acuan utama Federal Reserve – yang dijadwalkan untuk dipublikasikan pada hari Jumat.
Ketiga rilis ini diprakirakan akan menjadi pemicu volatilitas bagi Dolar AS. Jika Indeks Harga PCE inti bulanan naik lebih cepat dari yang diharapkan pada bulan April, reaksi pasar langsung dapat menyebabkan investor cenderung tidak mengubah suku bunga kebijakan pada bulan Juli. Dalam skenario ini, USD dapat menguat dan menyebabkan pasangan mata uang USD/IDR naik atau pulih secara signifikan.
Selain itu, komentar-komentar lanjutan dari para pejabat The Fed juga akan menjadi sorotan pada pelaku pasar, yang diharapkan akan memberikan sinyal arah kebijakan moneter ke depan di tengah ketidakpastian fiskal dan ekonomi global.
Dolar AS FAQs
Dolar AS (USD) adalah mata uang resmi Amerika Serikat, dan mata uang 'de facto' di sejumlah besar negara lain tempat mata uang ini beredar bersama mata uang lokal. Dolar AS adalah mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia, mencakup lebih dari 88% dari seluruh perputaran valuta asing global, atau rata-rata $6,6 triliun dalam transaksi per hari, menurut data dari tahun 2022. Setelah perang dunia kedua, USD mengambil alih posisi Pound Sterling Inggris sebagai mata uang cadangan dunia. Selama sebagian besar sejarahnya, Dolar AS didukung oleh Emas, hingga Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1971 ketika Standar Emas menghilang.
Faktor tunggal terpenting yang memengaruhi nilai Dolar AS adalah kebijakan moneter, yang dibentuk oleh Federal Reserve (The Fed). The Fed memiliki dua mandat: mencapai stabilitas harga (mengendalikan inflasi) dan mendorong lapangan kerja penuh. Alat utamanya untuk mencapai kedua tujuan ini adalah dengan menyesuaikan suku bunga. Ketika harga naik terlalu cepat dan inflasi berada di atas target The Fed sebesar 2%, The Fed akan menaikkan suku bunga, yang membantu nilai USD. Ketika inflasi turun di bawah 2% atau Tingkat Pengangguran terlalu tinggi, The Fed akan menurunkan suku bunga, yang membebani Greenback.
Dalam situasi ekstrem, Federal Reserve juga dapat mencetak lebih banyak Dolar dan memberlakukan pelonggaran kuantitatif (QE). QE adalah proses di mana Fed secara substansial meningkatkan aliran kredit dalam sistem keuangan yang macet. Ini adalah langkah kebijakan nonstandar yang digunakan ketika kredit telah mengering karena bank tidak akan saling meminjamkan (karena takut gagal bayar oleh rekanan). Ini adalah pilihan terakhir ketika hanya menurunkan suku bunga tidak mungkin mencapai hasil yang diinginkan. Itu adalah senjata pilihan The Fed untuk memerangi krisis kredit yang terjadi selama Krisis Keuangan Besar pada tahun 2008. Hal ini melibatkan The Fed yang mencetak lebih banyak Dolar dan menggunakannya untuk membeli obligasi pemerintah AS terutama dari lembaga keuangan. QE biasanya menyebabkan Dolar AS melemah.
Pengetatan kuantitatif (QT) adalah proses sebaliknya di mana Federal Reserve berhenti membeli obligasi dari lembaga keuangan dan tidak menginvestasikan kembali pokok dari obligasi yang dimilikinya yang jatuh tempo dalam pembelian baru. Hal ini biasanya positif bagi Dolar AS.